BAB V
DEMOKRASI INDONESIA
Dewasa
ini, demokrasi dianggap sebagai suatu sistem politik yang diyakini oleh banyak masyarakat
dunia sebagai yang terbaik untuk mencapai tujuan bernegara. Kecenderungan ini
menguat terutama sesudah Perang Dunia II. Menurut penelitian UNESCO tahun 1949
disimpulkan bahwa “… untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan
sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua organisasi politik dan
sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh” (Mirriam
Budiardjo, 2008: 105). Demokrasi telah menggantikan beberapa sistem politik non
demokrasi yang dianggap gagal pada saat itu, seperti: totalitarian,
otoritarian, monarki absolut, rezim militer dan kediktatoran. Sejalan dengan
perkembangan waktu, demokrasi beserta prinsip-prinsip yang menyertainya
mengalami perkembangan, pembaharuan dan pengujian yang terus-menerus. Demokrasi
juga mengalami pasang surut, bahkan terdapat perkembangan menarik, hampir semua
negara jajahan yang merdeka setelah Perang Dunia II bergeser dari sistem
demokrasi menuju non-demokrasi (Samuel Huntington, 1992: 80). Kriteria dan
prinsip-prinsip demokrasi adalah suatu gejala kontinum, dimana semakin banyak
prinsip dijalankan maka semakin demokratis negara tersebut; sebaliknya semakin
banyak prinsip ditinggalkan maka semakin tidak demokratis negara tersebut.
Banyak negara yang mengupayakan sejauh mungkin prinsip-prinsip itu ditegakkan
agar dikatakan sebagai negara demokrasi. Indonesia sebagai negara yang merdeka
setelah Perang Dunia II juga tidak terlepas dari pasang surutnya sistem
demokrasi. Pembahasan bab ini difokuskan tentang konsep dasar demokrasi,
prinsipprinsip dan indikator demokrasi, perjalanan demokrasi di Indonesia, dan
arti pentingnya pendidikan demokrasi di negara yang menyatakan diri sebagai
negara demokrasi.
A. KONSEP DASAR DEMOKRASI
Istilah
demokrasi (democracy)
berasal dari penggalan kata bahasa Yunani yakni demos dan kratos/cratein. Demos berarti rakyat dan cratein berarti pemerintahan.
Jadi demokrasi berarti pemerintahan rakyat. Salah satu pendapat terkenal
dikemukakan oleh Abraham Lincoln di tahun 1863 yang mengatakan demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of the people, by the people and for
the people). Lalu apa itu demokrasi? Demokrasi sebagai konsep sesungguhnya memiliki
banyak pengertian dari berbagai sudut pandang atau perspektif. Berbagai
pendapat para ahli banyak mengupas perihal demokrasi. Contoh yang dikemukakan
oleh Abraham Lincoln di atas, hanyalah salah satu contoh pengartian demokrasi.
Robert Dahl sampai pada pernyataan bahwa “ there is no democratic theory, there are only democratic theories”. Bahkan
Harold Laski mengutarakan bahwa demokrasi tidak dapat diberi batasan, kerena rentang
sejarahnya yang amat panjang dan telah berevolusi sebagai konsep yang
menentukan (Hendra Nurtjahjo, 2006: 71).
Berdasar
banyak literatur yang ada, diyakini demokrasi berasal dari pengalaman bernegara
orang –orang Yunani Kuno, tepatnya di negara kota (polis) Athena pada sekitar
tahun 500 SM. Yunani sendiri pada waktu itu terdiri dari beberapa negara kota
(polis) seperti Athena, Makedonia dan Sparta. Pada tahun 508 SM seorang warga
Athena yaitu Kleistenes mengadakan beberapa pembaharuan pemerintahan negara
kota Athena (Magnis Suseno, 1997:100). Kleistenes membagi para warga Yunani
yang pada waktu itu berjumlah sekitar 300.000 jiwa kedalam beberapa “suku”, masing-masing
terdiri atas beberapa demes dan demes mengirim wakilnya ke dalam Majelis 500
orang wakil. Keanggotaan majelis 500 itu dibatas satu tahun dan seseorang
dibatasi hanya dua kali selama hidupnya untuk dapat menjadi anggota. Majelis
500 mengambil keputusan mengenai semua masalah yang menyangkut kehidupan kota
Athena. Bentuk pemerintahan
baru
ini disebut demokratia. Istilah
demokratia sendiri dikemukakan oleh sejarawan Herodotus (490-420 SM) untuk
menyebut sistem kenegaraan hasil pembeharuan Kleistenes tersebut. Sistem
demokratia Athena akhirnya diambil alih oleh banyak polis lain di Yunani.
Demokrasi di Athena ini bertahan sampai dihancurkan oleh Iskandar Agung dari
Romawi pada tahun 322 SM. Sejak saat itu demokrasi Yunani dianggap hilang dari
muka bumi. Selanjutnya Eropa memasuki abad kegelapan (Dark Age). Gagasan
demokrasi mulai berkembang lagi di Eropa terutama setelah kemunculan konsep nation state pada abad 17. Gagasan ini disemai oleh pemikir-pemikir
seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Montesqiueu
(1689-1755), dan JJ Rousseau (1712-1778), yang mendorong berkembangnya
demokrasi dan konstitusionalisme di Eropa dan Amerika Utara (Aidul Fitriciada
Azhari, 2005: 2). Pada kurun waktu itu berkembang ide sekulerisasi dan
kedaulatan rakyat. Berdasar sejarah singkat
tersebut,
kita bisa mengetahui adanya demokrasi yang berkembang di Yunani yang disebut
demokrasi kuno dan demokrasi yang berkembang selanjutnya di Eropa Barat yang
dikenal sebagai demokrasi modern. Lalu apakah demokrasi itu sesungguhnya?
Memang tidak ada pengertian yang cukup yang mewakili konsep demokrasi. Istilah
itu tumbuh sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat Semakin
tinggi kompleksitas kehidupan suatu masyarakat semakin sulit dan tidak
sederhana demokrasi didefinisikan (Eep Saefulloh Fatah, 1994: 5). Berdasar
berbagai pengertian yang berkembang dalam sejarah pemikiran tentang demokrasi, kita
dapat mengkategorikan ada 3 (tiga) makna demokrasi yakni demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, demokrasi
sebagai sistem politik dan demokrasi sebagai sikap hidup.
1. Demokrasi sebagai Bentuk Pemerintahan
Makna
demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan merupakan pengertian awal yang
dikemukakan para ahli dan tokoh sejarah, misalnya Plato dan Aristotoles. Plato
dalam tulisannya Republic menyatakan
bahwa bentuk pemerintahan yang baik itu ada tiga yakni monarki, aristokrasi, dan
demokrasi. Jadi demokrasi adalah satu satu dari tiga bentuk pemerintahan. Ukuran
yang digunakan untuk membedakan adalah kuantitas dalam arti jumlah orang yang
berkuasa dan kualitas yang berarti untuk siapa kekuasaan itu dijalankan. Menurutnya,
demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana pemerintahan itu dipegang
oleh rakyat dan dijalankan untuk kepentingan rakyat banyak. Monarki adalah
bentuk pemerintahan yang dipegang oleh seseorang sebagai pemimpin tertinggi dan
dijalankan untuk kepentingan rakyat banyak. Aristokrasi adalah suatu bentuk
pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok orang yang memimpin dan dijalankan
untuk kepentingan rakyat banyak. Ketiganya dapat berubah menjadi bentuk pemerintahan
yang buruk yakni tirani, oligarki dan mobokrasi atau okhlokrasi.
Tirani
adalah suatu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh seseorang sebagai pemimpin
tertinggi dan dijalankan untuk kepentingan pribadi. Oligarki adalah suatu
bentuk pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok dan dijalankan untuk kelompok
itu sendiri. Sedangkan mobokrasi/okhlokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan
yang dipegang oleh rakyat, tetapi rakyat tidak tahu apa-apa, rakyat tidak
berpendidikan, dan rakyat tidak paham tentang pemerintahan. Akhirnya,
pemerintahan yang dijalankan tidak berhasil untuk kepentingan rakyat banyak. Penyelenggaraan
pemerintahan itu justru menimbulkan keonaran, kerusuhan, kebebasan, dan
kerusakan yang parah sehingga dapat menimbulkan anarki. Mobokrasi adalah bentuk
pemerintahan yang chaos.
Sementara
itu, Aristoteles dalam tulisannya Politics mengemukakan adanya tiga macam bentuk pemerintahan yang baik yang
disebutnya good constitution,
meliputi: monarki, aristokrasi dan polity. Sedangkan pemerintahan yang buruk
atau bad constitution meliputi
tirani, oligarki dan demokrasi. Jadi berbeda dengan Plato, demokrasi menurut Aristoteles
merupakan bentuk dari pemerintahan yang buruk, sedang yang baik disebutnya polity atau politeia.
Teori
Aristoteles banyak dianut oleh para sarjana di masa lalu diantaranya
Pollybius. Hanya saja menurut Pollybius, bentuk pemerintahan yang ideal bukan politeia, tetapi demokrasi yang
bentuk pemerosotannya
adalah mobokrasi (pemerintahan yang chaostic). Jadi
Pollybius lebih sejalan dengan pendapat Plato. Ia terkenal dengan ajarannya
yang dikenal dengan nama Lingkaran Pollybius, bahwa bentuk pemerintahan
akan mengalami perputaran dari yang awalnya baik menjadi buruk,
menjadi baik kembali dan seterusnya. Dengan demikian teori Pollybius
telah mengubah wajah demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang
buruk menjadi sesuatu yang ideal atau baik dan diinginkan dalam penyelenggaraan
bernegara sesuai dengan kehendak rakyat.
Sampai
saat itu pemaknaan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan masih dianut beberapa
ahli. Sidney Hook mengatakan
demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan keputusan pemerintah
yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada
kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas kepada rakyat dewasa
(Tim ICE UIN, 2003: 110). Menurut International Commission for Jurist,
demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana hak untukmembuat
keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara
melalui
wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka
melalui suatu proses pemilihan yang bebas (Mirriam Budiardjo, 2008: 116-117).
Georg Sorensen (2003: 1) secara lugas menyatakan demokrasi adalah suatu bentuk
pemerintahan oleh rakyat.
2. Demokrasi sebagai Sistem Politik
Perkembangan
berikutnya, demokrasi tidak sekedar dipahami sebagai bentuk pemerintahan,
tetapi lebih luas yakni sebagai sistem politik. Bentuk pemerintahan bukan lagi
demokrasi , oligarki, monarki atau yang lainnya. Bentuk pemerintahan, dewasa
ini lebih banyak menganut pendapatnya Nicollo Machiavelli (1467-1527). Ia
menyatakan bahwa Negara (Lo Stato) dalam hal ini merupakan hal yang pokok (genus) sedang spsesiesnya
adalah Republik (Respublica) dan
Monarki (Principati).
Monarki adalah bentuk pemerintahan yang bersifat kerajaan.
Pemimpin
negara umumnya bergelar raja, ratu, kaisar, atau sultan. Sedangkan Republik
adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh seorang presiden atau perdana
menteri. Pembagian dua bentuk pemerintahan tersebut didasarkan pada cara
pengangkatan atau penunjukkan pemimpin negara. Apabila penunjukkan pemimpin
negara berdasarkan keturunan atau pewarisan maka bentuk pemerintahannya monarki.
Sedangkan bila penunjukkan pemimpin negara berdasarkan pemilihan maka bentuk
pemerintahannya adalah republik. Jika bentuk pemerintahan adalah republik atau
monarki, maka demokrasi berkembang sebagai suatu sistem politik dalam
bernegara.
Sarjana
yang mendefinikan demokrasi sebagai sistem, misalnya Henry B Mayo (Mirriam
Budiardjo, 2008: 117) yang menyatakan sistem politik demokrasi adalah sistem
yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas
prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya
kebebasan politik. Samuel Huntington (1997: 6-7) menyatakan bahwa sistem
politik di dunia ini ada dua yakni sistem politik demokrasi dan sistem politik
non demokrasi. Menurutnya, suatu sistem politik disebut demokrasi apabila para
pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui
pemilihan yang jurdil. Di dalam sistem itu, para calon bebas bersaing untuk
memperoleh suara dan semua penduduk berhak memberikan suara. Sedangkan sistem
politik non demokrasi meliputi sistem totaliter, otoriter, absolut, rezim
militer, sistem komunis, dan sistem partai tunggal. Demokrasi sekarang ini
merupakan lawan dari sistem politik otoriter, absolut, dan totaliter.
Carter dan Herz dalam
Ramlan Surbakti (1999: 221) menggolongkan macam-macam sistem politik didasarkan
pada kriteria siapa yang
memerintah dan ruang lingkup
jangkauan kewenangan pemerintah.
Berdasar ini maka ada sistem politik
otoriter, sistem politik demokrasi, sistem politik totaliter dan sistem politik liberal. Apabila
pihak yang memerintah terdiri atas beberapa orang atau kelompok kecil orang maka
sistem politik ini disebut “pemerintahan dari atas” atau lebih tegas lagi
disebut oligarki, otoriter,
ataupun aristokrasi. Di
lain pihak, apabila pihak yang memerintah terdiri atas banyak orang, maka sistem
politik ini disebut demokrasi.
Kemudian apabila kewenangan pemerintah pada prinsipnya mencakup segala sesuatu
yang ada dalam masyarakat, maka rezim ini disebut totaliter. Sedangkan apabila
pemerintah memiliki kewenangan yang terbatas yang membiarkan beberapa atau
sebagian besar kehidupan masyarakat mengatur dirinya sendiri tanpa campur
tangan dari pemerintah dan apabila kehidupan masyarakat dijamin dengan tata
hukum yang disepakati bersama, maka rezim ini disebut liberal. Ramlan Surbakti
(1999: 222-232) juga membedakan sistem politik terdiri atas sistem politik
otokrasi tradisional, sistem politik totaliter dan sistem politik demokrasi.
Selain tiga jenis tersebut dinyatakan pula adanya sistem politik negara
berkembang. Macam–macam sistem politik tersebut dibedakan dengan lima kreteria
yaitu kebaikan bersama, identitas bersama, hubungan kekuasaan, legitimasi
kewenangan dan hubungan ekonomi dan politik. Sistem politik demokrasi,
kesempatan politik yang sama bagi individu. Individu menggunakan kesempatan politik
tersebut dengan menggabungkan diri dalam organisasi-organisasi sukarela yang
dapat mempengaruhi keputusan pemerintah dan membuat kebijakan yang menguntungkan
mereka. Selain itu sistem ini menekankan pada persamaankesempatan ekonomi
daripada pemerataan hasil dari pemerintah. Jadi individu bebas mencari dan
mendayagunakan kekayaan sepanjang dalam batas-batas yang disepakati bersama.
Sistem politik demokrasi menekankan pemenuhan kebutuhan materiil kepada massa
dan dalam masyarakat, negara menerapkan individualisme. Hal ini menimbulkan ketegangan
antara tujuan-tujuan moril dan materiil, namun demikian pemenuhan kebutuhan
materiil yang tampaknya lebih menonjol.
Pendapat
lain dikemukakan oleh Arief Budiman (1996: 38), bahwa hanya ada dua kutub
variasi sistem politik, yakni sistem politik yang otoriter dan sistem politik
yang demokratis. Sukarna dalam buku Demokrasi Versus Kediktatoran (1981) juga membedakan
adanya sistem politik demokrasi dan kediktatoran. Pada intinya adalah demokrasi
telah dipahami sebagai sistem politik yang dilawankan dengan sistem politik non
demokrasi, sebagaimana pendapat Samuel Huntington di atas. Ukuran yang
membedakannya adalah prinsip-prinsip yang digunakan dalam bernegara. Sukarna
(1981: 4-5) mengemukakan adanya beberapa prinsip dari demokrasi dan
prinsip-prinsip dari otoritarian atau kediktatoran. Adapun prinsip-prinsip dari
sistem politik demokrasi adalah sebagai berikut:
a. pembagian
kekuasaan; kekuasaan eksekutif, legeslatif, yudikatif berada pada badan yang
berbeda
b. pemerintahan
konstitusional
c. pemerintahan
berdasarkan hukum
d. pemerintahan
mayoritas
e. pemerintahan
dengan diskusi
f. pemilihan
umum yang bebas
g. partai
politik lebih dari satu dan mampu melaksanakan fungsinya
h. management
yang terbuka
i. pers
yang bebas
j. pengakuan
terhadap hak hak minoritas
k. perlindungan
terhadap hak asasi manusia
l. peradilan
yang bebas dan tidak memihak
m. pengawasan
terhadap administrasi negara
n. mekanisme
politik yang berubah antara kehidupan politik masyarakat dengan kehidupan
politik pemerintah
o. kebijaksanaan
pmerintah dibuat oleh badan perwakilan politik tanpa paksaan dari lembaga
manapun
p. penempatan
pejabat pemerintahan dengan merit sistem bukan poil sistem
q. penyelesaian
secara damai bukan dengan kompromi
r. jaminan
terhadap kebebasan individu dalam batas-batas tertentu.
s. konstitusi/
UUD yang demokratis
t. prinsip
persetujuan
Kebalikan
dari prinsip demokrasi adalah prinsip kediktatoran yang berlaku pada sistem
politik otoriter atau toteliter. Prinsip-prinsip ini bisa disebut sebagai prinsip
non demokrasi, yaitu sebagai berikut:
a. Pemusatan
kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
yudikatif menjadi satu. Ketiga kekuasaan itu dipegang dan dijalankan oleh satu
lembaga saja.
b. Pemerintahan
tidak berdasar konstitusional yaitu pemerintahan dijalankan berdasarkan
kekuasaan. Konstitusinya memberi kekuasaan yang besar pada negara atau
pemerintah.
c. Rule of power atau
prinsip negara kekuasaan yang ditandai dengan supremasi kekuasaan dan
ketidaksamaan di depan hukum
d. Pembentukan
pemerintahan tidak berdasar musyawarah tetapi melalui dekrit
e. Pemilihan
umum yang tidak demokratis. Pemilu dijalankan hanya untuk memperkuat keabsahan
penguasa atau pemerintah negara.
f. Terdapat
satu partai politik yaitu partai pemerintah atau ada beberapa partai tetapi ada
sebuah partai yang memonopoli kekuasaan.
g. Manajemen
dan kepemimpinan yang tertutup dan tidak bertanggung jawab
h. Menekan
dan tidak mengakui hak hak minoritas warga negara
i. Tidak
adanya kebebasan berpendapat, berbicara dan kebebasan pers. Kalaupun ada pers
maka pers tersebut sangat dibatasi.
j. Tidak
ada perlindungan terhadap hak asasi manusia bahkan sering terjadi pelanggaran
atas hak asasi manusia..
k. Badan
peradilan yang tidak bebas dan bisa diintervensi oleh penguasa.
l. Tidak
ada kontrol atau pengendalian terhadap administrasi dan birokrasi. Birokrasi
pemerintah sangat besar dan menjangkau keseluruh wilayah kehidupan
bermasyarakat.
m. Mekanisme
dalam kehidupan politik dan sosial tidak dapat berubah dan bersifat sama
n. Penyelesaian
perpecahan atau perbedaan dengan cara kekerasan dan penggunaan paksaan
o. Tidak
ada jaminan terhadap hak-hak dan kebebasan individu dalam batas tertentu
misalnya: kebebasan berbicara, kebebasan beragama, bebas dari rasa takut.
p. Prinsip
dogmatisme dan banyak berlaku doktrin.
3. Demokrasi sebagai Sikap Hidup
Perkembangan
berikutnya, demokrasi tidak hanya dimaknai sebagai bentuk pemerintahan dan atau
sistem politik, tetapi demokrasi dimaknai sebagai sikap hidup. Jika demokrasi
sebagai bentuk pemerintahan atau sistem politik maka hal itu lebih banyak
berjalan pada tingkat pemerintahan atau kenegaraan. Demokrasi tidak cukup
berjalan di tingkat kenegaraan, tetapi demokrasi juga memerlukan sikap hidup demokratis
yang tumbuh dalam diri penyelenggara negara maupun warga negara pada umumnya.
Tim ICCE IUN (2003: 112) menyebut demokrasi sebagai pandangan hidup. Bahwa
demokrasi tidak datang dengan sendiri dalam kehidupan bernegara. Ia memerlukan
perangkat pendukungnya yakni budaya yang kondusif sebagai mind set dan setting sosial
dan bentuk konkrit dari manifestasi tersebut adalah dijadikannya demokrasi
sebagai pandangan hidup. John Dewey (Zamroni, 2001: 31) menyatakan ide pokok
demokrasi adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perlunya partisipasi dari
setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur
kehidupan. Nurcholish Madjid (Tim ICCE UIN, 2003: 113) menyatakan demokrasi
sebagai proses berisikan norma-norma yang menjadi pandangan hidup bersama.
Menurut Padmo Wahyono (1991: 227), demokrasi adalah suatu pola kehidupan masyarakat yang sesuai dengan
keinginan ataupun pandangan hidup manusia yang berkelompok tersebut. Demokrasi
Indonesia dalam arti pandangan hidup adalah demokrasi sebagai falsafah hidup (democracy in philosophy) (Sri Soemantri,
1974: ?).
Berdasar
pendapat-pendapat di atas, demokrasi bukan sekedar suatu bentuk pemerintahan
ataupun sistem politik melainkan yang utama adalah suatu bentuk kehidupan
bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bentuk
kehidupan yang demokratis akan kokoh bila di kalangan masyarakat tumbuh
nilai-nilai demokrasi. Demokrasi sebagai sikap hidup didalamnya ada nilai-nilai
demokrasi yang dipraktikkan oleh masyarakatnya yang selanjutnya memunculkan
budaya demokrasi. Mohammad Hatta (1966: 9) juga pernah menyatakan bahwa demokrasi
memerlukan syarat-syarat hidupnya yakni rasa tanggung jawab dan toleransi pada
pemimpin-pemimpin politik. Tanggung jawab dan toleransi merupakan nilai
demokrasi yang akan mendukung sistem atau pemerintahan demokrasi. Jika
demokrasi merupakan nilai-nilai yang dihayati dan
dibudayakan
dalam kehidupan sehingga menjadi sikap dan perilaku hidup demokratis, maka
nilai-nilai demokrasi seperti apakah yang hendak dikembangkan? Henry B Mayo
(Mirriam Budiarjo, 2008: 118-119) mengidentifikasi adanya 8 (delapan) nilai
demokrasi, yaitu:
1) penyelesaian pertikaian secara damai dan
sukarela,
2) Menjamin
perubahan secara damai dalam masyarakat dinamis,
3) Pergantian
penguasa secara teratur,
4) penggunaan
paksaan sedikit mungkin,
5) pengakuan
dan penghormatan terhadap keanekaragaman,
6) penegakan
keadilan,
7) memajukan
ilmu pengetahuan, dan
8) pengakuan
penghormatan atas kebebasan.
Rusli Karim (1996)
menyebutkan perlunya kepribadian yang demokratis, yang meliputi
1) inisiatif,
2) disposisi
resiprositas,
3) toleransi,
4) kecintaan
terhadap keterbukaan,
5) komitmen,
6) tanggung
jawab, serta
7) kerja
sama keterhubungan.
Zamroni (2001:32) menyatakan bahwa demokrasi akan tumbuh kokoh
bila di kalangan masyarakat tumbuh kultur dan nilai-nilai demokrasi, yaitu
1) toleransi,
2) kebebasan
mengemukakan dan menghormati perbedaan pendapat,
3) memahami
keanekaragaman dalam masyarakat,
4) terbuka
dalam berkomunikasi,
5) menjunjung
nilai dan martabat kemanusiaan,
6) percaya
diri atau tidak menggantungkan diri pada orang lain,
7) saling
menghargai,
8) mampu
mengekang diri,
9) kebersamaan
dan
10) keseimbangan.
Nurcholish Madjid (Tim ICCE UIN, 2003: 113) menyatakan demokrasi
sebagai pandangan hidup paling tidak memiliki 7 (tujuh) norma, yaitu:
1) pentingnya
kesadaran akan pluralisme,
2) musyawarah,
3) pertimbangan
moral,
4) permufakatan
yang jujur dan sehat,
5) pemenuhan
segi segi ekonomi,
6) kerjasama
antar warga masyarakat dan sikap mempercayai iktikad masing-masing, dan
7) pandangan
hidup demokrasi harus menyatu dengan sistem pendidikan
.
B. PRINSIP-PRINSIP DAN INDIKATOR DEMOKRASI
1. Prinsip-prisip Demokrasi
Prinsip-prinsip
demokrasi telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Jika kita mengungkap kembali
prinsip demokrasi sebagaimana dinyatakan Sukarna (1981) di atas, menunjuk pada
prinsip demokrasi sebagai suatu sistem politik. Contoh lain, misalnya Robert
Dahl (Zamroni, 2011: 15) yang menyatakan terdapat dua dimensi utama demokrasi,
yakni:
1) kompetisi
yang bebas diantara para kandidat, dan
2) partisipasi
bagi mereka yang telah dewasa memiliki hak politik. Berkaitan dengan dua prinsip
demokrasi tersebut, secara umum dapat dikatakan bahwa demokrasi memiliki dua
ciri utama yakni keadilan (equality) dan kebebasan (freedom).
Franz
Magnis Suseno (1997: 58), menyatakan bahwa dari berbagai ciri dan prinsip
demokrasi yang dikemukakan oleh para pakar, ada 5 (lima) ciri atau gugus hakiki
negara demokrasi, yakni: negara hukum, pemerintah berada dibawah kontrol nyata
masyarakat, pemilihan umum yang bebas, prinsip mayoritas dan adanya jaminan
terhadap hak-hak demokratis.
Hendra
Nurtjahyo (2006: 74-75) merangkum sejumlah prinsip demokrasi yang dikemukakan
para ahli dengan menyatakan adanya nilainilai yang substansial dan nilai-nilai
yang bersifat prosedural dari demokrasi. Kedua ketegori nilai tersebut baik
subtansial dan prosedural sama pentingnya dalam demokrasi. Tanpa adanya nilai
tersebut, demokrasi tidak akan eksis, yang selanjutnya dikatakan sebagai
prinsip eksistensial dari demokrasi. Prinsip eksistensial demokrasi tersebut,
yakni:
1) kebebasan,
2) kesamaan
dan
3) kedaulatan
suara mayoritas (rakyat).
Pendapat
yang sejenis dikemukakan oleh Maswadi Rauf (1997: 14) bahwa demokrasi itu
memiliki dua prinsip utama demokrasi yakni kebebasan/persamaan (freedom/equality) dan
kedaulatan rakyat (people’s sovereignty).
1.1 Kebebasan/persamaan (freedom/equality)
Kebebasan
dan persamaan adalah fondasi demokrasi. Kebebasan dianggap sebagai sarana
mencapai kemajuan dengan memberikan hasil maksimal dari usaha orang tanpa
adanya pembatasan dari penguasa. Jadi bagian tak terpisahkan dari ide kebebasan
adalah pembatasan kekuasaan kekuasaan penguasa politik. Demokrasi adalah sistem
politik yang melindungi kebebasan warganya sekaligus memberi tugas pemerintah
untuk menjamin kebebasan tersebut. Demokrasi pada dasarnya merupakan pelembagaan
dari kebebasan. Persamaan merupakan sarana penting untuk kemajuan setiap orang.
Dengan prinsip persamaan, setiap orang dianggap sama, tanpa dibeda-bedakan dan
memperoleh akses dan kesempatan sama untuk mengembangkan diri sesuai dengan
potensinya. Demokrasi berasumsi bahwa semua orang sama derajat dan hak-haknya
sehingga harusdiperlakukan sama pula dalam pemerintahan.
1.2 Kedaulatan rakyat (people’s sovereignty)
Konsep
kedaulatan rakyat pada hakekatnya kebijakan yang dibuat adalah kehendak rakyat
dan untuk kepentingan rakyat. Mekanisme semacam ini akan mencapai dua hal. Pertama, kecil kemungkinan
terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan kedua, terjaminnya kepentingan rakyat dalam tugas tugas pemerintahan. Perwujudan
lain konsep kedaulatan adalah pengawasan oleh rakyat. Pengawasan dilakukan
karena demokrasi tidak mempercayai kebaikan hati penguasa. Betapapun niat baik
penguasa, jika mereka menafikan kontrol/kendali rakyat maka ada dua kemungkinan
buruk pertama, kebijakan
mereka tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat dan, kedua, yang lebih buruk
kebijakan itu korup dan hanya melayani kepentingan penguasa.
Sementara
itu, APA (ASEAN People’s Assembly) mendaftar sejumlah prinsip dasar demokrasi
yangditerima sebagai seperangkat aturan main bersama dalam upaya melakukan
penilaian proses demokratisasi di kawasan Asia Tenggara, terlepas dari banyak perdebatan
reotik antara demokrasi universal dan particular, antara konsep “Barat” dan
“Timur” atau “Cara Asia/ASEAN” dan berbagai macam kata sifat yang tercantum di
depan definisi demokrasi saat digunakan untuk menggambarkan karakteristik
demokratis sebuah negara –seperti: semi-demokrasi, demokrasi liberal, demokrasi
elektoral, dan lain-lain.Prinsip-prinsip demokrasi pada tabel 1 berikut ini:
partisipasi, inklusif, representasi, transparansi, akuntabilitas, responsif,
kompetisi yang bebas dan adil, dan solidaritas, dijadikan dasar dari perkembangan
institusional dan proses demokrasi (Chistine Sussane Tjhin, 2005: 11, 18).
Tabel 1. Prinsip-prinsip Demokrasi
Nilai2 Terkandung |
DESKRIPSI |
Partisipasi (Participation) |
Demokrasi
pada esensinya melibatkan aspirasi masyarakat dlm menjalankan perannya secara
aktif & menentukan dlm proses
politik. Partisipasi adalah elemen penting dlm pemberdayaan. Partisipasi
tidak hanya berupa ‘mencoblos’ dlm pemilihan umum/pemilihan kepala daerah yg
dilaksanakan secara rutin. Partisipasi menjamin keterlibatan dlm proses
Kebijakan, baik dengan melibatkan LSM, partai politik, maupun jalur-jalur lain.
Tetapi, semua ini harus didasarkan pada asumsi bahwa hakhak untuk
berpartisipasi itu memang sudah eksis & masyarakat/ warganegara memiliki
kapasitas & sumber2 daya yg layak utk berpartisipasi, & pemerintah
telah menyediakan jalur2 & institusi2 politk (di mana melalui semua itu masyarakat
bisa berpartisipasi). |
Inklusivitas/ Pelibatan (Inclusion) |
Setiap
individu dipandang setara secara politik. Dengan katalain setiap individu
diperlakukan sebagai warganegara terlepas dari perbedaan latar belakang ras,
etnis, kelas, gender, agama, bahasa, maupun identitas lain. Demokrasi mendorong
pluralitas & keberagaman, juga mengelola keberagaman tsb tanpa kekerasan.
Demokrasi tidak bisa eksis jika perolehan hak2 dasar dibatasi secara
diskriminatif. Demokrasi juga harus mengawal sektor2 masyarakat yg
termarjinalisasi melalui pelaksanaan kebijakan afirmatif utk bisa mencapai
kesamaan status & pemberdayaan. Kebijakan afirmatif ini haruslah bebas
dari prasangka/stereotip. |
Perwakilan/
Representasi (Representation) |
Dengan
mempertimbangkan bahwa partisipasi langsung dlm setiap proses pemerintahan
tidak bisa dilakukan secara absolut mengingat keterbatasan waktu & ruang,
jalur yg paling rasional adalah dengan menyediakan perangkat utk representasi/perwakilan.
Mereka yg telah mendapatkan mandat utk menjalankan aspirasi populer harus
mampu mewakili konstituensi mereka. Institusi2 harus pula mencerminkan
komposisi sosial dari para pemilih – baik kelompok mayoritas maupun
minoritas. Terlebih lagi, mereka harus mewakili arus utama dari opini publik. |
Transparansi
(Transparency) |
Karena
demokrasi berarti bahwa institusi2 publik mendapatkan otoritas mereka dari
masyarakat, maka harus ada perangkat yg memungkinkan masyarakat utk mengawasi
& mengawal institusi2 publik tsb. Masyarakat atau kelompok yg ditunjuk
oleh masyarakat harus diberikan kesempatan utk mempertanyakan kinerja &
kerja institusi2 publik tsb. Terlebih lagi, segala informasi mengenai proses
kerja & kinerja mereka harus bisa dijangkau oleh publik & media massa |
|
2. Indikator Demokrasi
Kerangka
kerja penilaian demokratisasi di antaranya dirumuskan APA yang diinspirasi
konsep yang dikembangkan oleh David Beetham dalam membuat indikator demokrasi.
Beetham menerjemahkan “kedaulatan rakyat” (rule of the people) secara lebih spesifik
menjadi faktor kontrol popular (popular control) dan faktor kesetaraan
politik (political equality).
Kontrol populer memanifestasikan hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat untuk
mengontrol dan mempengaruhi kebijakan publik dan para pembuat kebijakan.
Perlakuan terhadap masyarakat harus didasari pada keyakinan bahwa setiap orang
harus diperlakukan dengan rasa hormat yang setara. Setiap orang memiliki
kapasitas yang setara dalam menentukan pilihan. Pilihan tersebut dapat
mempengaruhi keputusan kolektif dan semua kepentingan yang mendasari pilihan
tersebut harus diperhatikan (Christine Sussana Tjhin, 2005: 11-13, 19-21).
Kerangka
kerja utama dibagi menjadi 3 komponen utama.
Pertama,
Kerangka Kerka Hak-hak
Warga Negara yang Kesetaraannya Terjamin (Guaranteed Framework of Equal Citizen
Rights). Termasuk di dalamnya adalah akses pada keadilan dan supremasi
hokum, juga kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul, dan hak-hak dasar
yang memungkinkan masyarakat untuk memperoleh/menjalankan hak-haknya secara
efektif. Komponen pertama ini terdiri dari 2 tema, yaitu: 1) Kewarganegaraan
yang Setara (Common Citizenship), dan
2) Hak-hak Sipil dan Politik (Civil and Political Rights).
Komponen
kedua, Institusi-institusi
Pemerintah yang Representatif dan
Akuntabel (Institutions of
Representative and Accountable
Government). Tercakup di dalamnya adalah pemilu yang bebas dan adil yang
menyediakan perangkat agar pilihan dan control populer atas pemerintah dapat
dilaksanakan. Termasuk juga di dalamnya adalah prosedur-prosedur yang menjamin
akuntabilitas pejabat publik (yang dipilih maupun tidak dipilih melalui
pemilu). Komponen kedua terdiri dari 6 tema, yaitu: 1) Pemilu yang Bebas dan
Adil (Free and Fair Elections), 2)
Partai Politik yang Demokratis (Democratic Political
Parties), 3) Hubungan
Sipil-Militer (Civil-Military
Relations), 4) Transparansi dan Akuntabiltas Pemerintahan (Governmental Transparency and Accountability), 5)
Supremasi Hukum (Rule of Law), dan
6) Desentralisasi (Decentralization).
Komponen
ketiga adalah Masyarakat yang
Demokratis atau Sipil (Civil or Democratic Society). Cakupan komponen ini
meliputi media
komunikasi, asosiasi-asosiasi sipil, proses-proses konsultatif dan forum-forum lainnya yang bebas
dan pluralistik. Kebebasan dan pluralisme tersebut harus menjamin partisipasi popular dalam
setiap proses politik
dalam rangka mendorong sikap responsif pemerintah terhadap opini publik dan terselenggaranya
pelayanan public yang lebih efektif.
Komponen
ketiga mencakup 2 tema, yaitu:
1)
Media yang Independen dan Bebas (Independent and Free Media), dan
2)
Partisipasi Populer (Popular Participation).
Setiap
10 tema tersebut berisikan seperangkat indicator penilaian yang dikategorikan
berdasarkan 3 dimensi, yaitu: dimensi legal, institusional dan kinerja (performance). Dimensi legal untuk mengindentifikasi
kahadiran payung hukum yang memberikan kepastian hukum untuk tema terkait. Dimensi institusional menggali
ada atau tidaknya perangkat institusi dan mekanisme yang mampu memberikan jaminan
implementasi perangkat hukum. Dimensi kinerja mengelaborasi sejauh mana kinerja
elemen-elemen dalam dua dimensi sebelumnya telah berhasil membawa pengaruh
aktual terhadap kemajuan proses
demokratisasi
berdasarkan konteks tema terkait. Indikator-indikator dalam setiap dimensi
tersebut dihrapkan dapat menjadi semacam petunjukpetunjuk praktis dalam proses
penilaian demokratisasi (lihat
Tabel 2. MATRIKS INDIKATOR
KERANGKA KERJA |
TEMA |
DIMENSI LEGAL |
DIMENSI INSTITUSI- ONAL |
DIMENSI KINERJA |
Hak-hak Warganegara Yang Kesetaraannya Terjamin |
Kewarga-negaraan yang Setara |
Jaminan atas Kewargane-garaan yg setara & universal, juga masyarakat yg plural (sehubungan dengan perihal etnisitas, agama, ras, gender, kelas, status sosial, dll). · Adanya pengakuan status kelompok2 minoritas/ termarjinalisasi. · Jaminan adanya upaya
resolusi damai utk konflik2 komunal. |
· Terbentuknya institusi2 yg relevan dan/ atau mekanisme2 utkmenangani permasalahan kelompok2 minoritas/
termarjinal dlm masyarakat yg plural (sehubungan dg e/a/r/g/k/ss,
dll). · Terbentuknya mekanisme2 utkmenyelesaik an konflik2 komunal. |
· Sejauh mana konflik2 komunal & kekerasan terjadi & diselesaikan. · Sejauh mana diskriminasi terjadi atas kel2 minoritas/ termarjinal. · Sejauh mana status khusus diberikan utk kasus2 khusus yg berkaitan dg kel2 minoritas/ termarjinal. |
Institusi2 Pemerintah yg Represen-tatif & Akuntabel (1) |
Hak-hak Sipil & Politik |
· Adanya perlindungan thd warganegara dari kekerasan politik & pelanggaran fisik atas individu. · Jaminan atas kebebasan berekspresi. · Jaminan atas kebebasan berserikat & berkumpul. · Ratifikasi Konvensi International Hak2 Sipil & Politik (ICCPR). |
· Terbentuknya Komisi HAM independen. · Terbentuknya kantor publik pembela HAM. |
· Efektivitas Komisi HAM dlm meng-awasi perkembangan penghormatan
HAM. · Jumlah & lingkup pembunuhan politik (extrajudicial killings). · Jumlah & lingkup kekerasan aparat keamanan. · Sejauh mana sensor terjadi. . |
|
Pemilu yg Bebas & Adil |
· Jaminan atas adanya pemilihan umum/ kepala daerah sebagai mekanisme utama utk peralihan kekuasan dari warganegara ke pemimpin. · Jaminan atas hak utk memilih bagi warganegara yg telah dewasa scr universal. · Jaminan atas akses & keterbukaan dlm pemilihan umum/ kepala daerah bagi kekuatan2 politik yg berbeda. · Jaminan atas Keterwakilan dlm Parlemen (berkaitan dg e/a/r/g/k/ss, dll). |
· Terbentuknya Otoritas elektoral (KPU/D) yg mengatur & mengawasi pelaksanaan pemilihan yg bebas &
adil. · Imparsialitas dr otoritas elektoral thd berbagai kandidat & partai2. · Integritas dr proses pemilihan yg menjamin keterwakilan
& transparansi. |
. · Sejauh mana Terjadi protes2
atau tuntutan atas pemilihan. · Jumlah pemilih yg memilih (voter turnout). · Keberagaman
& lingkup pilihan yg tersedia merefleksika n perbedaan/ pertentangan 2 politik (political cleavages). · Sejauh mana terjadi kekerasan & penipuan dlm pemilihan. . |
|
Partai Politik (PP) yg Demokratis |
· Jaminan atas independensi PP dr intervensi & control negara. · Adanya pendanaan negara utk PP · Adanya aturan2 hukum utk PP agar tdpt proses Internal yg demokratis, prosedur2 legal & keterwakilan dlm PP (berkaitan dg e/a/r/g/k/ss, dll). · Adanya aturan2 hukum
ttg PP yg memupuk disiplin & akuntabilitas antara pejabat partai & anggota. |
· Terbentuknya sistem partai yg stabil & representatif. · Kefektifan PP dlm mewakili konstituen mereka. · Kapasitas utk mengekspansi fungsi & konstituen mereka. · Adanya program2/ platform2 yg jelas & akuntabel. |
· Persentasi PP yg layak dr suara nasional utk eksekutif & legislatif. · Perubahan signifikan dlm pemerintahan melalui perubahan komposisi PP. |
KERANGKA KERJA |
TEMA |
DIMENSI LEGAL |
DIMENSI INSTITUSI- ONAL |
DIMENSI KINERJA |
Institusi2 Pemerintah yg Represen-tatif & Akuntabel
(2) |
Hubungan Sipil Militer |
· Jaminan atas supremasi sipil atas militer. · Jaminan adanya insulasi militer atas birokrasi sipil. · Jaminan atas akuntabilitas militer utk menghindari kemungkinan penyalahguna an kekuasaan. |
· Kepemimpinan sipil dlm lembaga pertahanan dengan otoritas atas kebijakan pertahanan & pembuatan anggaran. · Kompetensi sipil dlm menangani perihal keamanan & pertahanan nasional. · Keterwakilan militer dibandingkan dg komposisi
masyarakat luas. |
· Sejauh mana terjadi kudeta militer. · Sejauh mana personel militer (aktif & non-aktif) ditunjuk dlm birokrasi sipil. · Sejauh mana militer terlibat dlm memberikan keamanan internal. · Sejauh mana militer telah
menjadi profesional. |
Transparansi & Akuntabili -tas Pemerintahan |
· Jaminan atas akuntabilitas pejabat publik. · Jaminan atas tersedianya laporan periodik atas · kekayaan & aset yg dimiliki pejabat publik. · Ada kode etik dlm pelaksanaan pelayanan publik. · Adanya sanksi atas kemungkinan pelanggaran atau penyalahguna an wewenang. · Jaminan atas Kebebasan
informasi seputar kinerja, tindakan2, & keputusan2 pemerintah. |
· Terbentuknya institusi independen utk akuntabilitas (IIA). · Terjaminnya kemandirian
& imparsialitas lembaga IIA tsb. · Kecukupan sumber daya utk · memenuhi mandat IIA. · Kemauan & kapasitas utk menjalankan pengawasan. |
· Tingkat persepsi publik atas kurangnya akuntabilitas · Sejauh mana perkembangan
kinerja IIA. · Jumlah & lingkup pejabat publik yg mdptk sanksi. |
|
· Supremasi Hukum |
· Jaminan atas independensi lembaga judisial dari kontrol legislatif & eksekutif. · Jaminan atas kesetaraan & keamanan akses thd keadilan. · Jaminan atas bantuan hukum bagi warganegara yg kurang mampu. |
· Terbentuknya sistem peradilan kriminal. · Perlakuan yg imparsial & setara dlm
sistem pidana. · Kapasitas sistem pidana utk mengakomodasi narapidana & tahanan. |
· Status kasus2 judisial yg tercatat (jumlah kasus tertunda & waktu rata2 utk kasus2 yg diselesaikan) · Kinerja kantor kejaksaan agung. |
|
· Desentralisasi |
· Jaminan atas transfer/dele gasi kekuasan & fungsi dari
pemerintah pusat ke daerah. · Jaminan atas otonomi dr pemerintahan daerah utk melakukan perencanaan & anggaran. · Jaminan atas pemilihan pemerintahan lokal melalui pemilihan kompetitif (baik eksekutif maupun legislatif). |
· Sejauh mana kontrol atas sumber daya oleh pemerintahan daerah. · Adanya pelatihan & pendidikan
utk unit pemerintahan daerah. · Terbentuknya perangkat utk keterwakilan
& partisipasi yg lebih besar dari berbagai kepentingan di daerah. |
· Sejauh mana terdapat batasan bagi pemerintah daerah dlm
melaksanakan kekuasaan & fungsi2nya. · Sejauh mana terdapat kerja sama antara pemerintah daerah dengan masyarakat sekitar dlm proses formulasi & implementasi
kebijakan. |
|
KERANGKA KERJA |
TEMA |
DIMENSI LEGAL |
DIMENSI INSTITUSI-ONAL |
DIMENSI KINERJA |
Masyarakat yg Demokratis atau Sipil |
Media yg Independen & Bebas Partisipasi Populer |
Jaminan atas eksistensi masyarakat sipil/ “civil society” atau
LSM, maupun institusi kerelawanan yg independen dr pemerintah. · Jaminan atas partisipasi masyarakat sipil atau LSM dlm proses kebijakan. · Jaminan atas keterlibatan aktif masyarakat sipil atau LSM dengan aktor2 negara. |
· Adanya akses thd media bagi publik. · Kemampuan & kemauan dr media
utk merepresentasikan berbagai alur opini & perspektif. · Kemampuan & kemauan utk bertindak
sebagai pengawas/ “watchdog” pemerintah. · Kemauan & sejauh mana partisipasi warganegara dlm LSM &
lembaga kerelawanan lainnya. · Adanya kejelasan mengenai konstituen yg diwakili oleh LSM atau lembaga kerelawan lain. · Sejauh mana terdapat partisipasi dari
elemen2 masyarakat sipil yg berbeda (sehubungan dg e/a/r/g/k/ss,
dll). |
· Sejauh mana terjadi pelecehan & kekerasan thd media. · Sejauh mana terdapat sensor pemerintah atas media. · Sejauh mana terdapat pembatas atas kebebasan pers. · Kemampuan LSM & lembaga kerelawanan lainnya dlm memberikan kontribusi berupa input kritis dlm proses perumusan kebijakan. · Sejauh mana terdapat prosedur internal LSM & Lembaga
kerelawanan lainnya yg demokratis. · Sejauh mana terdapat hambatan & batasan dlm partisipasi masyarakat sipil. · Sejauh mana terdapat keberagaman
sumber pendanaan. |
C. PERJALANAN DEMOKRASI DI INDONESIA
Perlu
dipahami bahwa demokrasi yang berjalan di Indonesia telah menghasilkan sejumlah
kemajuan berarti dari segi prosedural. Pemilu legislatif, pemilu presiden,
hingga Pilkada dapat berlangsung dengan bebas, transparan, demokratis, dan
paling penting dalam suasana damai. Check and balance di antara lembaga-lembaga eksekutif dengan legislatif juga berlaangsung
sangat dinamis. Kebebasan berpendapat dan berserikat jauh lebih baik dibanding
masa Orde Baru. Hal paling mendasar adalah dibenahinya beberapa kelemahan dalam
Batang Tubuh UUD 1945 yang kemudian membuat wajah konstitusi kita tampil
berbeda dibanding Batang Tubuh UUD 1945 yang asli (As’ad Said Ali, 2009: 99). Perubahan-perubahan
penting dan mendasar tersebut membangkitkan dan mendatangkan sejumlah harapan,
seperti diuraikan As’ad Said Ali dalam bukuya Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa (2009).
Masyarakat mengharapkan adanya peningkatan kualitas demokrasi seiring dengan
kemajuan prosedur demokrasi. Masyarakat juga mengharapkan pemerintahan yang
dihasilkan melalui prosedur demokrasi mampu menangkap dan mengartikulasikan
kepentingan publik jauh lebih baik dibandingkan masa sebelumnya serta
menjauhkan diri dari kepentingankepentingan sempit kelompok atau golongan
tertentu. Namun demikian, dalam realitas, harapan-harapan tersebut belum
terwujud secara optimal.
Muncul
keluhan bahwa sistem demokrasi yang sekarang berjalan belum banyak menghasilkan
kesejahteraan ekonomi dan sosial lebih baik. Partisipasi rakyat dalam setiap
proses pengambilan keputusan nyaris seperti masa Orde Baru, sementara sirkulasi
elite nasional tidak banyak mengalami perubahan perilaku mendasar. Pada saat
bersamaan muncul rasa khawatir terhadap berbagai masalah yang cenderung
mengguncang sendi-sendi pokok kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan
separatisme sempat mencuat. Beberapa daerah mengajukan tuntutan sangat keras
kepeada pemerintah pusat, dan Jakarta sering kali mengabaikan kepentingan
pemerintah daerah. Isu-isu sensitif dengan mengatas-namakan agama kembali
meruyak. Hal lain yang cukup mengguncangkan adalah maraknya korupsi pada era
reformasi. Deretan masalah masih bisa diperpanjang. Semua mengakumulasi menjadi
kekecewaan. Pertanyaan yang mengusik: Benarkah langkah kita dalam proses
demokratisasi sekarang ini? Cara terbaik agar tidak terjebak dalam persoalan
yang tidak kunjung usai ini, adalah dengan mempelajari kembali pesan-pesan
penting pendiri negara dan konstitusi untuk diproyeksikan menjadi visi
membangun kehidupan demokrasi.
1. Ide Demokrasi Pendiri Negara
Apakah
ide atau gagasan demokrasi ada pada benak para pendiri negara saat 1945? Para pendiri negara (The Founding Fathers) kita
umumnya menyetujui bahwa negara Indonesia yang akan didirikan hendaknya negara
demokrasi. Ada kesamaan pandangan dan konsensus politik dari para pendiri
negara bahwa kenegaraan Indonesia harus berdasar kerakyatan/ kedaulatan rakyat
atau demokrasi. Jadi cita cita atau ide demokrasi itu ada pada para the founding fathers bangsa
( Franz Magnis Suseno, 1997: 9-10).
Menurut
Mohammad Hatta (1953:39-41), demokrasi telah
berurat akar dalam pergaulan hidup kita. Bangsa Indonesia sejak dahulu sesungguhnya
telah mempraktekkan ide tentang demokrasi meskipun masih sederhana dan bukan
dalam tingkat kenegaraan. Dikatakan bahwa desa-desa di Indonesia sudah
menjalankan demokrasi, misalnya dengan pemilihan kepada desa dan adanya rembug
desa. Itulah yang disebut "demokrasi asli". Demokrasi asli itu
memiliki 5 unsur atau anasir yaitu; rapat, mufakat, gotong royong, hak
mengadakan protes bersama dan hak menyingkir dari kekuasaan raja absolut. Saat
itu, Mohammad Hatta lebih suka mengganakan istilah kerakyatan, untuk
membedakannya dengan
demokrasi Barat yang
cenderung individualistik.
Namun
demikian, demokrasi desa tidak bisa dijadikan pola demokrasi untuk Indonesia
modern. Kelima unsur demokrasi desa tersebut perlu dikembangkan dan
diperbaharui menjadi konsep demokrasiIndonesia yang modern. Demokrasi Indonesia
modern, menurut Mohammad Hatta harus meliputi 3 hal yaitu; demokrasi di bidang
politik, demokrasi di bidang ekonomi, demokrasi di bidang sosial. Demokrasi Indonesia
tidak berbeda dengan demokrasi di Barat dalam bidang politik. Hanya saja
demokrasi di Indonesia perlu mencakup demokrasi ekonomi dan sosial, sesuatu
yang tidak terdapat dalam masyarakat Barat.
Saat
ini, ide demokrasi tersebut terungkap dalam sila keempat Pancasila yakni
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusywaratan
perwakilan dan pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yakni kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar 1945. Oleh karena UUD 1945
merupakan derivasi dari Pancasila sebagai dasar filsafat negara, maka secara
normatif demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang bersumberkan nilai Pancasila
khususnya sila keempat. Oleh karena itu demokrasi Indonesia dikatakan Demokrasi Pancasila, dimana
prinsip-prinsip demokrasi yang dijalankan berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.
Demokrasi
Pancasila dapat diartikan secara luas maupun sempit, sebagai berikut:
a. Secara
luas demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yangdidasarkan pada
nilai-nilai Pancasila baik sebagai pedoman penyelenggaraan maupun sebagai
cita-cita.
b. Secara
sempit demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Demokrasi
Pancasila dalam arti luas adalah kedaulatan atau kekuasaan tertinggi ada pada
rakyat yang dalam penyelenggaraannya dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila.
Nilai-nilai Pancasila yaitu nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan
dan nilai keadilan sangat mendukung demokrasi. Nilai-nilai Pancasila menentang
sistem otoriter atau kediktatoran.
Pelaksanaan
demokrasi Pancasila agar tegak dan berkembang dipusatkan pada 10 (sepuluh)
pilar demokrasi (Achmad Sanusi, 2006: 193- 205), yaitu:
a. Demokrasi
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa Para pemeran politik dan pemimpin negara dan
semua warga negara dalam menerapkan demokrasi tidak bertentangan dengan nilai-nilai
agama. Ia dituntut agar mempertanggungjawabkan segala tindakannya kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
b. Demokrasi
yang Menjunjung Hak Asasi manusia Demokrasi mengharuskan adanya penghargaan
terhadap harkat dan martabat manusia dalam bentuk jaminan dan perlindungan hak-hak
asasi manusia demi terwujudnya keadilan dalam masyarakat.
c.
Demokrasi yang mengutamakan Kedaulatan Rakyat Rakyat adalah pemegang
kedaulatan tertinggi dalam negara demokrasi. Pelaksanaan kedaulatan melalui
sistem perwakilan.Untuk mengisi lembaga perwakilan perlu dilaksanakan pemilu secara
periodik.
d. Demokrasi
yang didukung kecerdasan Warga negara yang cerdas dan terdidik secara politik merupakan
syarat mutlak untuk mewujudkan demokrasi. Oleh karena itu, pendidikan
kewarganegaraan atau pendidikan politik amat penting dalam negara demokrasi
untuk membekali warga negara kesadaran hak dan kewajibannya.
e.
Demokrasi yang menetapkan pembagian kekuasaanSuatu negara yang
demokratis harus ada pembagian kekuasaan. Hal ini untuk menghindari terjadinya
pemusatan kekuasaan kepada satu orang. Dan memberikan kesempatan kepada lembaga
lain untuk melakukan pengawasan dan meminta pertanggungjawaban jalannya
pemerintahan.
f.
Demokrasi yang menerapkan konsep Negara HukumHukum melandasi
pelaksanaan demokrasi. Untuk mengembangkankebebasan yang demokratis tidak bisa
dengan meninggalkanhukum. Tanpa hukum kebebasan akan mengarah perbuatan
yanganarkis. Pada akhirnya perbuatan itu meninggalkan nilai-nilaidemokrasi.
Untuk mewujudkan demokrasi yang berdasarkanhukum tidak dapat lepas dari
perlidungan konstitusinal, badanperadilan yang bebas, kebebasan berpendapat,
berserikat, dan kesadaran kewarganegaraan.
g. Demokrasi
yang menjamin otonomi daerah Pelaksanaan demokrasi harus tetap menjamin
tegaknya persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan dilaksanakan otonomi daerah yang
semakin nyata dan bertanggung jawab mengindakasikan paham demokrasi juga
semakin berkembang. Sebagai wujud prinsip demokrasi kekuasaan negara tidak
dipusatkan pemerintah pusat saja namun sebagian diserahkan kepada daerah
menjadi urusan rumah tangga daerah itu sendiri.
h. Demokrasi
yang berkeadilan sosialPelaksanaan demokrasi diarahkan untuk
mewujudkankesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi bukanhanya
politik saja melainkan juga demokrasi sosial dan ekonomi.Demokrasi sosial
artinya demokrasi yang ditemukan dalamhubungan antar warga masyarakat dan atau
warga negara. Jugaharus dilandasi oleh penghormatan terhadap kemerdekaan, persamaan
dan solidaritas antar manusia.
i.
Demokrasi dengan kesejahteraan rakyatDemokrasi juga mencakup dalam
bidang ekonomi. Demokrasi ekonomi adalah sistem pengelolaan perekonomian negara
berdasarkan prinsip ekonomi. Perekonomian harus dijaga dari persaingan bebas
tanpa batas melalui peraturan perundangundangan. Negara juga mengambil peran
yang cukup dalam usaha mewujudkan kesejahteraan rakyat.
j. Demokrasi
dengan pengadilan yang merdeka Sistem pengadilan yang merdeka memberi peluang
seluas-luasnya kepada semua pihak yang berkepentingan untuk mencari dan menemukan
hukum yang seadil-adilnya. Pengadilan yang merdeka dan otonom tidak boleh
dipengaruhi oleh siapapun, namun hakim wajib mempertimbangkan keadilan yang
berkembang di masyarakat.
Demokrasi
Pancasila dalam arti sempit adalah berdasar pada sila keempat Pancasila yaitu
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Dengan demikian, demokrasi Pancasila dalam arti sempit adalah
masalah pengambilan keputusan yaitu pengambilan keputusan yang dipimpin oleh
hitmat kebijaksanaan. Wujud dari pengambilan keputusan yang dipimpin oleh hidmat
kebijaksanaan adalah dengan musyawarah mufakat
.
2. Praktik Demokrasi di Indonesia
Praktik
demokrasi Indonesia berhubungan dengan periodisasi demokrasi yang pernah dan
berlaku dan sejarah Indonesia. Mirriam Budiardjo (2008:127-128) menyatakan bahwa
dipandang dari sudut perkembangan sejarah demokrasi Indonesia sampai masa Orde
Baru dapat dibagi dalam 4
(empat) masa, yaitu:
a. Masa
pertama Republik Indonesia (1945-1959) yang dinamakanmasa demokrasi
konstitusional yang menonjolkan peranan parlemen dan partai-partai dan karena
itu dinamakan Demokrasi Parlementer
b. Masa
kedua Republik Indonesia (1959-1965) yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang banyak
aspek menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan landasannya
dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat
c.
Masa ketiga Republik Indonesia (1965-1998) yaitu masa demokrasi
Pancasila yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem
presidensiil
d. Masa
keempat Republik Indonesia (1998-sekarang) yaitu masa reformasi yang menginginkan
tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik
politik yang terjadi padamasa ketiga Republik Indonesia.
Afan Gaffar (1999: 10)
membagi alur demokrasi Indonesia terdiri atas:
a. periode
masa revolusi kemerdekaan (1945-1949)
b. periode
masa demokrasi parlementer (1950-1959)
c. periode
masa demokrasi terpimpin (1960-1965)
d. periode
pemerintahan Orde Baru/demokrasi Pancasila (1966-1998).
Pada
masa revolusi kemerdekaan (1945-1949), implementasi demokrasi baru terbatas
pada interaksi politik di parlemen dan pers berfungsi sebagai pendukung
revolusi kemerdekaan. Elemen-elemen demokrasi yang lain belum sepenuhnya
terwujud, karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Pada masa itu
pemerintah masih disibukkan untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru
saja diproklamasikan. Demokrasi parlementer (1950-1959) merupakan masa kejayaan
demokrasi di Indonesia, karena hampir semua elemen demokrasi dapat kita temukan dalam perwujudannya pada
kehidupan politik di Indonesiayang ditandai dengan karakter utama:
a. Lembaga
perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi dalam
proses politik yang berjalan
b. Akuntabilitas
pemegang jabatan dan politisasi pada umumnya sangat tinggi;
c.
Kehidupan kepartaian boleh dikatakan memperoleh peluang yang
sebesar-besarnya untuk berkembang secara maksimal. Hal itu dibuktikan dengan
sistem banyak partai (multy party sistem) sehingga
pada saat itu ada sekitar 40 partai yang terbentuk
d. Pemilu
tahun 1955 dilaksanakan dengan prinsip demokrasi
e. Hak-hak
dasar masyarakat umum terlindungi.
Masa
demokrasi terpimpin (1960-1965) merupakan masa dimana demokrasi dipahami dan
dijalankan berdasar kebijakan pemimpin besar revolusi dalam hal ini presiden
Soekarno. Belajar dari kegagalandemokrasi parlementer yang dianggap liberal
maka presiden Soekarno mengajukan gagasan demokrasi yang sesuai dengan
kepribadian bangsa. Ciri yang muncul pada masa itu antara lain:
a. Mengaburnya
sistem kepartaian
b. Peranan
DPR-GR sebagai lembaga legislatif dalam sistem politik nasional menjadi
sedemikian lemah
c. Basic human right sangat
lemah, dimana Soekarno dengan udah menyingkirkan lawan-lawan politiknya yang
tidak sesuai dengan kebijaksanaannya atau yang mempunyai keberanian untuk
menentangnya
d. Masa
puncak dari semangat anti kebebasan pers, dibuktikan dengan pemberangusan
harian Abdi dari Masyumi dan harian Pedoman dari PSIN
e. Sentralisasi
kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan pemerintah pusat dan daerah.
Demokrasi
masa pemerintahan presiden Soeharto (1966-1998) dikenal dengan demokrasi
Pancasila. Namun demikian pada masa itu, pelaksanaan demokrasi memberi
gejala-gejala antara lain:
a. Rotasi
kekuasaan eksekutif tidak pernah ada kecuali di tingkat daerah
b. Rekrutmen
politik tertutup
c. Pemilu
masih jauh dari semangat demokrasi
d. Basic human right sangat
lemah.
Pendapat
lain menyebutkan, bahwa perkembangan demokrasi terbagi dalam tiga periode
sejalan dengan perkembangan politik di Indonesia, yakni:
(1) periode
1945-1959 adalah demokrasi liberal,
(2) periode
1959-1966 adalah demokrasi terpimpin dan
(3) periode 1966-sekarang adalah demokrasi
Pancasila (Mahfud MD, 1999: ?).
Perkembangan
akhir menunjukkan bahwa setelah berakhirnya pemerintahan Soeharto atau masa Orde Baru, Indonesia memasuki Orde Reformasi
(sejak 1998 sampai sekarang). Gambaran mengenai pelaksanaan demokrasi di masa Reformasi dapat kita ketahui dari
naskah Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025. Dalam naskah tersebut
dinyatakan tentang kondisi pembangunan demokrasi, sebagai berikut:
a. Perkembangan
demokratisasi sejak tahun 1998 sampai dengan proses penyelenggaraan Pemilu
tahun 2004 telah memberikan peluang untuk mengakhiri masa transisi demokrasi
menuju arah proses konsolidasi demokrasi.
b. Adanya
pemilihan langsung presiden dan wakil presiden, pemilihanlangsung anggota DPR,
DPD dan DPRD, serta pemilihan langsung kepala daerah merupakan modal awal yang
penting bagi lebih berkembangnya demokrasi pada masa selanjutnya
c. Perkembangan
demokrasi selama ini ditandai pula dengan terumuskannya format hubungan
pusat-daerah yang baru yaitu penguatan desentralisasi dan otonomi daerah
d. Perkembangan
demokrasi ditandai pula dengan adanya konsensus mengenai format baru hubungan
sipil-militer yang menjunjung tinggi supremasi sipil dan hubungan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terkait
dengan kewenangan dalam melaksanakan sistem pertahanan dan keamanan
e. Kemajuan
demokrasi terlihat pula dengan telah berkembangnyakesadaran-kesadaran terhadap
hak-hak masyarakat dalam kehidupan politik, yang dalam jangka panjang
diharapkan mampu menstimulasi masyarakat lebih jauh untuk makin aktif berpartisipasi
dalam mengambil inisiatif bagi pengelolaan urusanurusan publik.
Apabila
kita menyimak kembali butir pertama dari gambaran demokrasi Indonesia
sebagaimana tertuang dalam RPJP 2005-2025 di atas, maka proses demokrasi atau
demokratisasi kita sekarang sedang berada pada tahap tiga yakni tahap
konsolidasi demokrasi. Sebagaimana kita ketahui, tahapan demokratisasi
meliputi:
a. Tahapan
pertama adalah pergantian dari penguasa non demokratis ke penguasa demokrasi
b. Tahapan
kedua adalah pembentukan lembaga-lembaga dan tertib politik demokrasi
c.
Tahapan ketiga adalah konsolidasi demokrasi
d. Tahapan
keempat adalah praktik demokrasi sebagai budaya politik bernegara.
Refleksi:
Bagaimana kehidupan demokrasi di Indonesia dewasa ini? Apakah demokratis atau
tidak? Pertanyaan demikian dapat dijawab dengan menunjuk pada kriteria: Apakah
prinsip-prinsip demokrasi memang telah berjalan di Indonesia? Secara teoritik
dapat dikatakan bahwa semakin banyak prinsip demokrasi dijalankan, maka semakin
demokratis negara tersebut. Sebaliknya semakin banyak prinsip demokrasi ditinggalkan,
maka semakin jauh negara tersebut dari kriteria demokrasi.
Berikut
ini kita cermati beberapa hasil penelitian tentang pelaksanaan demokrasi di
Indonesia, baik yang dilakukan oleh lembaga nasional maupun regional. Laporan Program Penilaian Demokrasi di Asia Tenggara yang dirilis
ASEAN People’s Assembly sebuah jaringan think-tank masyarakat sipil di tataran ASEAN
berdasarkan penelitian kasus Indonesia periode akhir 2003 hingga Mei 2005
dengan titik berat penilaian terhadap tematema: Pemilu yang bebas dan adil,
Partai Politik yang demokratis, dan Hubungan Sipil-Militer, menyimpulkan bahwa
proses demokratisasi di Indonesia bergerak relatif maju (Chistine Sussana
Tjhin, 2005: 14-15). Namun kemajuan itu lebih banyak didorong oleh keteguhan
sebagian dari masyarakat sipil melalui Partisipasi Populer dan Media yang relatif bebas tetapi tidak sepenuhnya independen.
Ancaman tersebar datang dari Partai Politik yang tidak demokratis, Pemerintahan yang tidak transparan dan akuntabel; juga Inferioritas Sipil dan Ambisi Militer.
Bentuk
demokrasi procedural yang relatiuf cukup baik dapat dilihat selama Pemilu 2004 (pengecualian
pada kredibilitas KPU dan partai politik) dan mencatat tantangan besar Pilkada. Relatif tidak ada
kemajuan berarti untuk situasi seputar tema Kewarganegaraan yang Setara. Namun tampak
kemunduran besar dalam konteks Hak-hak Sipil dan Politik. Proses-proses dalam Supremasi Hukum masih berjuang, tetapi tetap
terkontaminasi korupsi. Desentralisasi
sudah menjadi terhentikan dengan hasil yang beragam di berbagai
wilayah di Indonesia, meskipun tercatat upaya-upaya resentralisasi.
Sementara
itu, hasil penelitian Pusat Kajian Politik, Departemen Ilmu Politik FISIP
Universitas Indonesia (PUSKAPOL) dan Center for Democracy and Human Rights
(DEMOS) tahun 2011 menyimpulkan bahwa indeks demokrasi Indonesia diperoleh
angka sebesar 4.9. Ini berarti cenderung berada di tengah jika diukur dari
skala 0 hingga 10 (hal 8). Variabel atau indikator yang digunakan adalah 4
prinsip demokrasi, yakni: otonomi, kompetisi, pluralisasi dan solidaritas. Jadi
menurut penelitian ini, indeks demokrasi Indonesia berada di bawah angka
‘ratarata’ (4.99) yang menggambarkan bahwa ‘demonopolisasi’ bahkan belum setengah
jalan (hal. 18). Angka indeks mengindikasikan adanya perkembangan dan
pencapaian yang timpang antara konsep penopang demokrasi dalam proses transisi
yang berlangsung hingga saat ini. Demokrasi Indonesia ditopang oleh
liberalisasi politik yang cukup tinggi, namun secara kontras tidak dikuti oleh
ekualisasi di area ekonomi yang sangat rendah. Ekualisasi ekonomi adalah
komponen nilai indeks yang terendah dalam seluruh komponen nilai indeks.
Sementara itu peranan masyarakat sipil tergolong mediocre (tanggung)
dan kurang berperan signifikan dalam mendinamisasi perubahan perubahan
demokratik terhadap setting sosial
yang sebelumnya dipenuhi oleh monopoli kekuatankekuatan oligarkis. Liberalisasi
dan ekualisasi di medan masyarakat sipil tergolong rendah (hal. 20). Berdasarkan
hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui tingkat
perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dilakukan dengan mengukur seberapa
jauh variabel atau indikator yang pada dasarnya merupakan prinsip demokrasi itu
dijalankan di Indonesia. Sudah barang tentu, prinsip yang tidak kalah penting
adalah nilai-nilai
dasar
Pancasila sebagai parameter demokratisasi di Indonesia.
D. PENDIDIKAN DEMOKRASI
Pada
bagian awal telah dikemukakan bahwa demokrasi bukan sekedar bentuk pemerintahan
maupun sistem politik. Demokrasi adalah sikap hidup yang harus tumbuh dan
berkembang dalam diri warga negara, baik yang sedang memerintah
memerintah
(warga negara biasa). Sikap hidup demokrasi ini pada gilirannya akan
menghasilkan budaya demokrasi. Sikap hidup dan budaya demokrasi diperlukan guna
mendukung bentuk pemerintahan maupun sistem politik demokrasi. Negara demokrasi
tanpa adanya sikap hidup dan budaya demokrasi hanya akan menghasilkan kekacauan
dan anarki. Demokrasi paling tidak mencakup dua hal, yaitu struktur dan kultur
(Zamroni, 2011:5). Sekiranya diibaratkan rumah, rumah demokrasi membutuhkan
dua hal, yaitu struktur demokrasi dan kultur demokrasi. Dewasa ini dalam alam
demokrasi harus ditumbuhkan kesadaran bahwa demokrasi hanya akan tumbuh kuat
jika didukung oleh warga-warga yang demokratis, yakni warga yang memiliki dan
menjalankan sikap hidup demokratis. Ini artinya warga negara yang bersikap dan
berbudaya hidup demokratis menjadi syarat bagi berjalannya negara demokrasi.
Sebagaimana dikatakan Bahmueller dalam Udin Winataputra (2001:72 ) bahwa perkembangan
demokrasi suatu negara tergantung pada sejumlah faktor yang menentukan, yakni:
tingkat perkembangan ekonomi, perasaan akan identitas nasional, pengalaman
sejarah dan budaya kewarganegaraan. Budaya kewarganegaraan mencerminkan tradisi
demokrasi yang ada di masyarakat. Jika di masyarakat tumbuh budaya demokrasi,
maka akan sangat mendukung perkembangan demokrasi negara yang bersangkutan. Oleh
karena itu, tradisi atau budaya demokrasi di masyarakat perlu untuk
ditumbuhkembangkan. Menumbuhkembangkan budaya demokrasi tersebut dapat
dilakukan melalui pendidikan demokrasi. Pendidikan demokrasi pada hakikatnya
adalah sosialisasi nilai-nilai demokrasi supaya bisa diterima dan dijalankan
oleh warganegara. Pendidikan demokrasi secara subtantif menyangkut sosialisasi,
diseminasi, aktualisasi dan implementasi sistem, nilai, konsep dan praktik
demokrasi melalui pendidikan.
Pendidikan
demokrasi bertujuan mempersiapkan warga masyarakat berperilaku dan bertindak
demokratis, melalui aktivitas menanamkan pada generasi muda akan pengetahuan,
kesadaran dan nilai-nilai demokrasi. Pendidikan demokrasi pada dasarnya
membangun kultur demokrasi, yang nantinya bersama dengan struktur demokrasi
akan menjadi fondasi bagi negara demokrasi. Menurut Zamroni, (2001:17)
pengetahuan dan kesadaran akan nilai demokrasi itu meliputi tiga hal. Pertama, kesadaran bahwa demokrasi
adalah pola kehidupan yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat itu
sendiri, demokrasi adalah pilihan terbaik diantara yang buruk tentang pola
hidup bernegara. Kedua,
demokrasi adalah sebuah learning process yang
lama dan tidak sekedar meniru dari masyarakat lain. Ketiga, kelangsungan demokrasi
tergantung pada keberhasilan mentrans-formasikan nilai-nilai demokrasi pada
masyarakat. Lebih lanjut dikatakan, bahwa pendidikan harus mampu melahirkan
manusia-manusia yang demokratis. Tanpa manusia yang memegang teguh nilai-nilai
demokrasi, masyarakat yang demokratis hanya akan merupakan impian belaka
(Zamroni, 2011:39). Pendidikan demokrasi dalam arti luas dapat dilakukan baik
secara informal, formal dan non formal. Secara informal, pendidikan demokrasi
bisa dilakukan di lingkungan keluarga yang menumbuhkembangkan nilai-nilai demokrasi.
Secara formal, pendidikan demokrasi dilakukan di sekolah baik dalam bentuk
intra dan ekstrakurikuler. Sedangkan secara non formal pendidikan demokrasi
berlangsung pada kelompok masyarakat, lembaga swadaya, partai politik, pers,
dan lain-lain.
Penting
untuk memberi perhatian mengenai pendidikan demokrasi formal yakni di sekolah
atau lembaga pendidikan lain termasuk pendidikan tinggi. Hal ini dimungkinkan
karena sekolah sebagai lembaga pendidikan yang telah terprogram, terencana,
teratur dan berkesinambungan dalam rangka mendidik warga termasuk melakukan
pendidikan demokrasi.
Hal
yang sangat penting dalam pendidikan demokrasi di sekolah adalah mengenai
kurikulum pendidikan demokrasi yang menyangkut dua hal: penataan dan isi materi
(Winarno, 2007: 113). Penataan menyangkut pemuatan pendidikan demokrasi dalam
suatu kegiatan kurikuler, apakah secara eksplisit dimuat dalam suatu mata
pelajaran atau mata kuliah ataukah disisipkan kedalam mata pelajaran umum.
Sekarang ini mata pelajaran dan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
memuat misi sebagai pendidikan demokrasi. Mata pelajaran yang lain, yakni
IlmuPengetahuan Sosial (Social Studies) juga bertujuan membentuk warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab (Permendiknas No. 22 Tahun 2006).
Isi
materi berkenaan dengan kajian atau bahan apa sajakah yang layak bagi
pendidikan demokrasi. Agar benar-benar berfungsi sebagai pendidikan demokrasi,
maka materinya perlu ditekankan pada empat hal, yaitu: asal-usul sejarah
demokrasi dan perkembangan demokrasi, sejarah demokrasi di Indonesia, jiwa
demokrasi Indonesia berdasar Pancasila dan UUD 1945, dan masa depan demokrasi.
Asal-usul demokrasi akan membelajarkan anak mengenai perkembangan konsep
demokrasi dari mulai konsep awal sampai sekarang menjadi konsep global sekarang
ini. Materi tentang demokrasi Indonesia membelajarkan anak akan kelebihan,
kekurangan serta bentukbentuk ideal demokrasi yang tepat untuk Indonesia.
Materi masa depan demokrasi akan membangkitkan kesadaran anak mengenai
pentingnya demokrasi serta memahami tantangan demokrasi yang akan muncul di
masa depan.
Komentar
Posting Komentar